Sebuah baliho besar dari Bank BRI terpampang di Simpang Lima
Kota Banda Aceh. Pesannya jelas, BRI siap menjalankan Qanun Lembaga Keuangan
Syariah (LKS). Baliho itu menjadi perhatian publik. Posisinya berada di titik
paling strategis di Kota Banda Aceh. Pusat konsentrasi jika mahasiswa melakukan
demo.
Setelah pemerintah daerah Aceh mengesahkan Qanun LKS, yaitu
Qanun No 11 Tahun 2018. Dunia perbankan di Aceh tampaknya mulai berbenah.
Mereka harus menyiapkan diri untuk menjalankan prinsip-prinsip syariah
tersebut. Sebagian besar perbankan, bahkan sudah melakukan konversi dari
konvensional menuju syariah.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh Aulia Fadly punya
istilah sendiri untuk proses konversi ini. Ia menyebutnya, “Bank yang telah
mendapatkan hidayah”.
Hari itu, Senin 23 September 2019, saat saya menyaksikan
diskusi bertajuk “Kesiapan Perbankan Terhadap Pemberlakuan Qanun Lembaga
Keuangan Syariah di Aceh di Bank Indonesia Aceh, saya melihat sendiri bagaimana
dinamika Qanun LKS ini di mata dunia perbankan.
Acara yang digagas oleh Tempo ini menghadirkan sejumlah tokoh
perbankan di Aceh. Direktur Tempo Tomi Aryanto hadir sebagai moderator. Pandangan yang beragam tersebut semakin membuka mata saya,
tentang betapa pentingnya Qanun LKS ini.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Aceh, Zainal Arifin Lubis,
membuka diskusi dengan terlebih dahulu menjelaskan kondisi perekonomian Aceh. Untuk
laju pertumbuhan ekonomi, Aceh masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Di
mana posisinya masih di bawah 5 %.
Begitu pula dengan tingkat kemiskinan, meskipun Pemerintah
Aceh berhasil menekan angka kemiskinan menjadi 15,32 % di semester I-2019.
Angka tersebut masih belum mampu mengubah status Aceh sebagai provinsi dengan
tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera.
Sementara tingkat pengangguran di Aceh, pada semester I-2019
turun menjadi 5,53 %. Namun sejalan dengan tingkat kemiskinan, angka tersebut
masih mengokohkan posisi Aceh sebagai provinsi dengan pengangguran tertinggi ke
empat di Sumatera.
Kondisi ini tentu saja menjadi ironi. Aceh dengan segala
potensinya. Belum lagi dana Otonomi Khusus yang melimpah. Justru tidak mampu
memberikan pengaruh yang signifikan bagi perekonomiannya.
Jika kita kembali ke masa lalu, bagaimana Aceh dikenal
sebagai daerah termahsyur. Aceh mampu menjadi player dalam perekonomian regional bahkan dunia. Cerita kejayaan
itu memang telah lama berlalu, tapi bukan berarti tidak mungkin diulang.
Lantas, apakah hadirnya Qanun LKS ini mampu mengangkat
kembali kejayaan Aceh? Zainal mengakui,
bahwa ia sangat optimis Aceh bisa kembali bangkit dengan Qanun LKS ini.
Buktinya, setelah BPD Aceh konversi menjadi BPD Aceh Syariah
pada 2016 silam. Market share
perbankan syariah di Aceh mengalami kenaikan cukup signifikan. Sebelum
konversi, rata-rata market share aset, Dana Pihak Ketiga (DPK) dan pembiayaan
perbankan syariah tahun 2010 – 2015, masing-masing sebesar 12,07%, 11,41% dan
12,20%.
Setelah konversi, angka ini naik signifikan. Di mana
rata-rata ketiga indikator tersebut naik sebesar 53,99 %, 51,90% dan 42,09 %.
Hal inilah yang membuat Zainal yakin, kehadiran Qanun LKS
bisa memberikan pengaruh yang besar bagi indikator makro perekonomian Aceh. Pertanyaan
selanjutnya, bagaimana dengan dunia perbankan di Aceh. Apakah mereka
benar-benar siap? Zainal punya jawabannya.
“Saya sudah tanya, secara umum dunia perbankan di Aceh siap
menjalankan Qanun LKS ini,” ungkapnya.
Aulia Fadly juga mengungkapkan keyakinan yang sama. Dunia
perbankan Aceh jauh hari telah menyiapkan lembaganya untuk menjalankan prinsip
syariah ini. Sebab awal tahun 2022, seluruh perbankan di Aceh harus sudah
konversi ke syariah.
Aulia mengungkapkan, sudah 46 kantor cabang bank konvensional
yang telah melakukan penyesuaian operasional usaha sesuai dengan prinsip
syariah, sejak Qanun LKS diberlakukan.
“Apakah industri keuangan syariah siap dengan qanun? Insya
Allah dengan dukungan semua, siap,” ujarnya.
Sebab Aulia menilai, pada prinsipnya industri keuangan di
Aceh tidak ada masalah dengan penerapan qanun ini. Sebab ini masalah bisnis,
mereka tentu akan mencari mana yang lebih menguntungkan.
Untuk itulah, ia mengharapkan dukungan semua pihak khususnya
masyarakat Aceh. Sebab, tidak ada artinya jika dunia perbankan sudah siap,
namun masyarakat masih belum yakin dengan prinsip syariah yang dijalankan.
“Masyarakat Aceh, apakah siap menerima perintah Allah. Kalau
tidak, siap-siap diperangi oleh Allah,” tantang Aulia, yang disambut tawa
hadirin.
Mengingat,
sistem konvensional tidaklah sama dengan sistem Syariah. Karena sistemnya
mengenal bagi hasil. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah sepakat beda.
Lagi pula, prinsip syariah tak akan jalan kalau kedua belah pihak, tidak
menerapkan prinsip bagi hasil.
Literasi dan Inklusi
Terkait
kesediaan ini, Aulia mengungkapkan, bahwa masyarakat Aceh tergolong unik. Sebab
berdasarkan hasil survey literasi dan inklusi yang dihimpun OJK. Tingkat
literasi Aceh hanya 21%, sementara inklusinya hanya 41,45%. Berbeda dengan Jawa
Timur, di mana tingkat literasi keuangan syariahnya 29,35 namun inklusinya
hanya 12,21%.
“Artinya
apa? Orang Aceh paham tidak paham apa itu keuangan syariah. Mereka tetap
menabung di Bank Syariah,” simpulnya.
Selain
itu, Aulia juga punya alasan lain mengapa tingkat literasi di Jawa Timur tidak
berarti banyak dengan tingkat inklusinya. Alasannya adalah, karena akses mereka
untuk menjangkau Bank Syariah sulit. Mereka lebih mudah menemukan Bank
Konvensional.
“Jawa
Timur dan Aceh tidak jauh berbeda. Islamnya sama-sama kuat. Namun misalnya anak
pesantren di sana, mau ke Bank Syariah jauh. Tapi di depan pesantrennya berdiri
Bank Konvensional. Ya sudah, mereka tidak mau repot-repot,” ujarnya.
Maka,
Aulia sepakat perbelakuan Qanun LKS ini mewajibkan seluruh perbankan di Aceh
untuk syariah. Termasuk adanya sanksi jika tidak mematuhi qanun tersebut. Hal
ini, selain bisa memudahkan masyarakat, tentu membuat dunia perbankan tidak
setengah hati menjalankan prinsip syariahnya.
Dengan
semua potensinya, Aceh memang tidak sepatutnya menjadi daerah termiskin di
Sumatra. Negeri Serambi Mekkah ini seharusnya bisa melampui provinsi lainnya.
Untuk itulah, Qanun LKS diharapkan menjadi solusi untuk membawa Aceh kembali
berjaya.
Hanya
saja, semua regulasi dan tekad tersebut tidak berarti apa-apa. Jika dunia
perbankan, pemerintah serta masyarakat tidak bersinergi. Sebab inilah momentum
bagi Aceh untuk membuktikan kepada dunia, bagaimana sistem perkekonomian
syariah adalah solusi untuk memperbaiki berbagai kekacauan ekonomi saat ini.
Jika
tidak demikian, maka Qanun LKS ini tak ubahnya pesan dari baliho tersebut, yang
tidak memberikan pengaruh apa-apa. Karena hanya sekadar kata-kata tanpa
pembuktian yang nyata.
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 comments:
Posting Komentar