Tiga perempuan tua tampak lesu. Mereka duduk dengan tatapan
penuh harap. Sehelai kain batik melingkar di tubuh renta itu. Potret tiga
perempuan Jawa tersebut tersemat dalam sebuah bingkai besar di ruang kerja
Ismawan.
“Ini adalah potret kehidupan masyarakat di pasar tradisional
yang hanya mengandalkan tenaganya. Mereka adalah buruh gendong di pasar
tradisional,” kata Ismawan.
Dalam setiap karya lukisnya, Ismawan menganut aliran realis.
Ia sengaja memilih aliran tersebut, karena menurutnya aliran ini dinilai lebih
efektif dalam menyampaikan pesan. Dan lebih mudah diapresiasi oleh masyarakat
dibanding aliran abstrak.
“Saya memilih realis karena merupakan bagian dari kehidupan
saya. Dan saya lebih nyaman mengungkapkan ide itu secara nyata,” ujarnya.
Lelaki kelahiran Sleman, 15 Agustus 1968 ini telah menggeluti
seni lukis sejak di bangku sekolah. Saat itu Ismawan kagum dengan kemampuan
lukis tetangganya yang lulusan Institut Seni Indonesia (ISI). Karena hal itu
pula, Ismawan bertekad untuk kulisah di kampus tersebut untuk mengasah
kemampuan melukisnya.
Namun Ismawan sempat menyesal, sebab di kampus tersebut ia
justru belajar seni patung. Di mana unsurnya lebih kompleks. Jika seni lukis
hanya cat dan kanvas, tapi seni patung bisa menggunakan banyak media seperti
kayu maupun batu.
Tapi seiring waktu
Ismawan justru kian menikmati. Ia merasa tertantang, sebab seni patung lebih
menuntut dirinya dalam mengeklporasi media tersebut.
“Sebenarnya, kedua seni ini harus punya skill drawing. Seni rupa itu prinsipnya memang harus bisa
menggambar,” ujarnya.
Barulah setelah pindah ke Aceh, Ismawan kembali menekuni
gairahnya dalam melukis. Alasannya, karena orang Aceh lebih mudah menerima seni
lukis dibandingkan patung. Apalagi pahatannya yang cenderung realis seperti
manusia atau binatang, yang bagi masyarakat Aceh masih tabu.
“Akhirnya saya kembali melukis karena ke Aceh, kalau tetap di
Jogja mungkin saya akan tetap mematung,” ucapnya sambil tersenyum.
Bagi Ismawan, perbedaan budaya masyarakat Aceh dan Jogja
bukanlah hambatan berarti dalam berkarya. Ia Jusru belajar banyak dari perbedaan tersebut.
Menurutnya, hal seperti ini harus dipahami sebagai sebuah kearifan hidup.
Sebagai pelaku seni, Ismawan paham, bahwa, sekalipun seni
adalah kebebasan dalam berkepresi namun semua itu harus ditempatkan sesuai pada
konteksnya. Kita harus menghormati nilai-nilai yang berlaku. Dengan cara
seperti itu, pesan yang hendak disampaikan dalam sebuah karya bisa lebih mudah
diterima oleh masyarakat.
“Jadi kalau ada orang yang bilang dia seniman atau pelukis.
Itukan masyarakat yang menilai, bukan kita. Masyarakat menerima kita karena
karya kita bermanfaat,” ucapnya.
Dunia lukis memang telah memberikan banyak kearifan hidup
bagi Ismawan. Ketika ia mengolah unsur-unsur seni yang beragam dan menjadi
sebuah kesatuan karya lukis yang indah. Tanpa sadar, hal itu telah
mengajarkannya untuk bertoleransi terhadap sebuah perbedaan.
“Ketika kita belajar seni, kita memang bisa lebih
bertoleransi kepada orang lain. Karena unsur-unsur seni itu bertemu dengan
porsi yang sesuai dalam goresan kanvas. Dari sanalah keindahan itu muncul,”
jelasnya.
Ismawan mengakui, bahwa ia jarang memenangkan sebuah
perlombaan. Padahal banyak sekali tawaran kompetisi yang datang kepadanya.
Sebab dalam bekarya Ismawan memang tak pernah berorientasi ke arah sana.
“Saya gak ada orentasi
ingin dikenal sebagai seniman. Dedikasi
saya adalah untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa seni itu
bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tapi sesuatu yang bermanfaat,” ujarnya.
Semangat dedikasi inilah, yang membuatnya semangat untuk
menyampaikan segenap pesan kehidupan pada setiap goresan kanvasnya.
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 comments:
Posting Komentar