Saya harus bersabar saat supir L 300 yang membawa saya dari
Bireuen menuju Beureunuen sengaja berjalan lambat. Sebentar-sebentar ia
berhenti, menunggu di mulut lorong jalan. Supir ini, tampaknya memang tak ingin
bergerak cepat.
Saya paham, dalam angkutannya ini hanya ada dua penumpang.
Tapi bagi saya kondisi seperti ini justru banyak membuang waktu. Berkali-kali
saya melihat arloji. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah 12 siang.
Sebuah pesan WA masuk dari Rio, Travel Blogger asal Aceh.
“Rio udah di masjid nih,”
tulisnya.
“Oke, L 300-nya too late!,”
balas saya.
Pukul 12 lewat 15 menit akhirnya saya sampai di Masjid Abu
Daud Beureueh. Di sanalah Rio bersama rekannya Jarnawi menunggu
saya.
Hari itu kami telah sepakat untuk menghadiri kenduri Maulid
Nabi di rumah Blogger Perempuan Aceh, Liza Fathia di Tangse. Undangan
“perbaikan gizi” tersebut, Liza sampaikan 5 hari lalu.
Dan saya langsung antusias ketika mendengar kata Tangse.
Inilah tempat yang selama ini bersemayam di benak saya. Destinasi yang belum
kesampaian untuk saya jejaki.
Langit Beureunuen membiru saat kami bergegas menuju Tangse.
Saya bersyukur mengingat cuaca beberapa hari ini terus hujan. Jarak antara
Tangse dengan Beureuenuen sekitar 50 Km, atau membutuhkan waktu 1 jam perjalanan
dengan sepeda motor.
Namun percayalah, perjalanan menuju Tangse adalah perjalanan
yang menyenangkan. Ruas jalannya memang tak besar, tapi sepanjang perjalanan
kita akan menyaksikan pemandangan yang menarik.
Suasana jalan menuju Tangse |
Di sisi jalan, aliran air dari parit warga mengalir deras dan
jernih. Semakin dekat dengan Tangse udara semakin sejuk. Kabut-kabut tipis
menyelimuti rimbunan pohon di puncak bukit. Jika kita perhatikan dari peta,
perjalanan menuju Tangse seperti perjalanan membelah provinsi Aceh.
Sungai dangkal dengan aliran airnya yang jernih |
Kata Rio, dulu Belanda sulit sekali menaklukkan alam Tangse.
Bukit yang terjal serta hutan yang lebat menjadi penghalangnya. Lalu, Belanda
pun menggunakan gajah untuk menembus batas-batas tersebut.
Mendengar cerita Rio, saya terperangkap antara percaya
ataupun tidak. Tapi, melihat medannya yang kami tempuh. Semua cerita Rio
tersebut ada benarnya juga.
Setelah 40 menit perjalanan, seketika cuaca berubah. Langit
yang tadinya terang benderang menjadi redup lalu hujan pun turun. Perubahan
cuaca yang tiba-tiba itu, spontan membuat kami mencari tempat berteduh.
Rio menepikan kendaraannya di sebuah pondok penjual durian.
Ah, tempat berteduh yang membuat saya galau. Hujan-hujan begini memang nikmat
sekali makan durian. Tapi, mengingatkan kami akan makan besar di rumah Liza
nantinya. Saya pun harus bersabar sejenak.
Alternatifnya, sambil menanti hujan reda, kami hanya menikmati jagung rebus. Jadilah! :D
Rio tanya-tanya durian, beli enggak juga? 😁 |
Tangse adalah tentang kualitas. Durian Tangse, Beras Tangse adalah
bukti bahwa kualitas telah menjadi identitas salah satu daerah di Kabupaten
Pidie ini.
Hal itulah yang saya rasakan saat tiba di rumah Liza. Saat Ibu Liza menghidangkan kami makanan
kenduri Maulid. Saya yang sedari tadi telah lapar, tak kuasa melihat sajian
makanan yang beragam. Mulai dari telur asin, kuah nangka, daging kari, kerupuk,
gado-gado semua berkumpul dalam sebuah nampan besar.
Lalu, perhatian saya tertuju pada semangkuk nasi putih di
antara sajian makanan tersebut. Ya, itulah beras tangse. Teksturnya seperti nasi
biasa, namun setelah disajikan hangat begini. Rasanya lebih pulen dan warnanya bersih. Nasi ini mengingatkan saya pada nasi yang biasa
disajikan di rumah makan cepat saji.
Nasi tangse yang hangat ditambah siraman kuah kari, lalu
dinikmati pada siang yang terik. Benar-benar surga dunia. Hahaa
Tak cukup sampai di situ, sebagai pencuci mulut Liza juga
menyajikan lemang. Ah, mantap sekali. Kami kira segalanya telah usai, namun begitu hendak pulang Liza
memberikan lagi kami tiga batang lemang. Benar-benar Tuan Rumah yang baik. 😂
Liza memberikan tiga batang lemang untuk kami. Mantap! 😆 |
Seusai makan besar itu, kami berjalan mengilingi Tangse.
“Tangse ini kecil, sehari juga habis,” ujar Rio.
Saya hanya diam. Bagi saya rasanya tak cukup sehari menikmati
Tangse. Sehari terlalu singkat untuk menikmati berbagai pesona yang ditawarkan
tempat ini.
Welcome to Tangse |
Namun apa boleh buat, mengingat hari mulai sore. Kami pun tak
sempat mengunjungi beberapa objek wisata Tangse lainnya seperti pemandian air
panas ataupun air terjun. Setelah salat Zuhur di Masjid Tangse. Kami pun berkeliling seputar Tangse.
Setelah itu Rio membawa saya ke atas bukit. Di sanalah saya melihat hamparan alam Tangse
yang menawan. Lahan persawahan tampak menguning, dipeluk perbukitan yang
hijau. Tangse berada di atas ketinggian 600-1200 mdpl. Maka wajar kalau udara di sini terasa sejuk.
Alam Tangse |
Saya terdiam menyerap
berupa-rupa perasaan di hati. Sebuah pemandangan yang menenangkan.
Hari itu saya telah tiba di Tangse, tanah yang sejak dulu
saya idamkan. Dari
sinilah beras yang saya makan setiap hari ditanam. Tangse memang dikenal
sebagai penghasil beras terbaik di Aceh. Pertanian merupakan nadi kota di kaki
gunung ini.
Terdiam menikmati pesona Tangse |
Saya pun merasa berat saat harus meninggalkan tempat ini.
Terlalu cepat untuk meninggalkan Tangse. Tapi, apa boleh buat? Saya harus
bergegas kembali ke Bireuen.
Pukul 15:45 WIB, kami pun meninggalkan Tangse. Saat pulang
gerimis mulai berdesis. Jujur, ada sedikit perasaan kecewa di hati saya karena
harus pulang begitu cepat. Maka sebagai penawarnya, kami pun berencana untuk menikmati
hal lain dari perjalanan ini.
Ya, dalam perjalanan pulang kami berhenti sejenak di Lhok Keutapang untuk menikmati secangkir kopi di Warung Kopi
ADN. Kata Rio racikan kopi di tempat ini mantap. Cuaca yang dingin begini
memang saat yang tepat untuk menyeruput secangkir kopi hitam.
Kopi Hitam di saat Hujan |
Selepas dari warkop di tepi jalan itu perjalanan kami
lanjutkan. Lalu saat hari kian senja, kami kembali berhenti di Keumala.
Mendengar nama Keumala pikiran saya langsung terbayang dengan warung mie
Keumala di warung-warung kopi kota Banda Aceh.
Saya pun penasaran, seberapa nikmat mie Keumala di tanah asalnya.
Kami memesan mi goreng basah dengan taburan daging. Saat mi dihidangkan, sepintas tampilannya kurang menarik. Tekstur mienya agak gelap,
kuahnya menghitam. Namun, ketika saya menyeruput kuahnya. Semua anggapan keliru
tersebut langsung sirna.
Mi Keumala, Perfect! |
Mi Keumala akhirnya menjadi menu penutup perjalanan kami
hari itu. Sehari di Tangse memang tak cukup, tapi perjalanan menuju tempat ini telah
membenamkan banyak makna dalam diri saya.
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
Melihat pemandangan nya dari foto saja, saya merasakan ketenangan.
BalasHapussepertinya saya memang butuh piknik ketempat2 yg alami dan sejuk seperti tangse ini
Liburan ke temnpat yang masih alami begini memang seru. Pikiran lebih fresh hehe
HapusHawa juga kami makan di kenduri maulid di Aceh. Udah lama kali rasanya ga makan nasi maulid.
BalasHapusPulanglah Bang Ocit, sampai kapan mau makan di Warteg
HapusPemandangannya oke bgt. Jarang travelling aku jd baru tau ada daerah secantik tangse..
BalasHapusWah harus mulai direncanakan tahun 2018 ini, travelling ke Tangse :D
Hapussunaginay berwaran biru mudakah? indah artinya belum tercemar ya
BalasHapusKarena dekat dengan sumber mata air kali ya :D Ya, masih alami bangett
Hapushawa that meujak u tangse
BalasHapusJak lah Bang Mus, nge-vlog kita :D
Hapusduh, baca artikel bang Ibnu jadi kepikiran mau ke Tangse.
BalasHapusrencananya kalo jadi nih bang, pertengahan Februari nanti mau melimpir ke Aceh lagi :D
Wahh... ditunggu Mbak Li :D
HapusPak cik, 6 foto terakhir yang ada plang Tangse itu, jalan sedikit lagi sudah sampai di rumah mertua kami, hehehe...
BalasHapusWah baru nemu komennya, rupanya masuk spam haha
HapusOrang Tangse rupanya abangda, serulah kalau mudik hehe