Tsunami 2004 silam telah meluluhlantakkan Ulee Lheue. Ribuan nyawa lenyap.
Kini, Ulee Lheue bangkit lagi. Seperti dulu, tempat ini masih menawarkan senja yang menawan. Namun tetap saja, ada cerita yang tak boleh kita lupakan
Semenjak pindah rumah kontrakan
dari Ceurih ke Punge Jurong, destinasi akhir pekan saya dan istri pun turut berpindah.
Dulu, kami biasa jalan-jalan sore menelusuri jalanan Gampong Lam Ateuk hingga Blang
Bintang.
Makan rujak Aceh di samping pagar
Bandara Sultan Iskandar Muda. Memicingkan mata saat pesawat mendarat yang
jaraknya hanya beberapa puluh meter saja.
Tapi kini, cerita akhir pekan
kami pun berbeda.
Bangunan pelabuhan tua itu tegak
bak orang tua pesakitan. Kontruksinya kokoh tapi langit-langitnya telah usang.
Asbesnya menjulur tak karuan. Di bawah dermaga renta itulah saya memarkirkan
sepeda motor, bersama puluhan sepeda motor lainnya.
Tak jauh dari sana, beberapa
orang duduk santai menikmati riak laut yang tenang. Ada pula para pemancing
yang bersabar menanti ujung kailnya ditarik ikan.
“Mak.. Engkot… Engkot,” seorang anak kecil di hadapan saya, berteriak saat
melihat seorang lelaki tua berhasil mengangkat ikan kecil dari pancingnya.
Kami tersenyum, begitu pula
lelaki tua tersebut. Setelah melepaskan mata pancing yang mengait mulut
ikannya. Lelaki tua ini melemparkan ikan kecil itu pada anak tadi.
Ia kegirangan, ibunya yang sedari
tadi asyik ber-selfie pun tersenyum.
Lakon antara anak kecil dan
pemancing itu mewarnai sore kami di Ulee Lheue. Kami duduk di bibir dermaga. Menara
dari Masjid Baiturrahim, yang merupakan saksi bisu dahsyatnya tsunami Aceh 2004
silam, berdiri kokoh di hadapan.
“Nyesal juga ya Dek enggak beli makanan,” ucap saya, yang urung membeli somay di
tepi jalan seperti kebanyakan pengunjung lainnya.
Setiap sore, Ulee Lheue selalu
ramai dikunjungi wisatawan. Jika sudah pukul 5 sore persimpangan di depan
Masjid Ulee Lheue selalu macat. Umumnya yang datang adalah para muda-mudi.
Suasana senja di Ulee Lheue memang menjadi daya tarik tersendiri. Saat
matahari terbenam, warna senja yang keemasan menghiasi langit lalu menyirami
riak-riak air laut yang tenang.
Namun, tak banyak yang memilih pelabuhan
tua ini sebagai tempatnya untuk menikmati senja. Para pengunjung lebih suka
duduk santai di tepi jalan. Sebab di sana, memang lebih banyak penjaja makanan.
Sebelum tsunami 2004 silam, di pelabuhan
inilah tempat kapal-kapal bersandar. Bahkan, tersedia pula tempat untuk
memperbaiki kapal yang rusak.
Setelah masa rehabilitasi dan rekonstruksi
Tsunami Aceh, Pelabuhan Ulee Lheue pun berpindah 1 KM ke depan. Dan pelabuhan
ini terbengkalai begitu saja.
Saya memang lebih suka menikmati
senja Ulee Lheue di sini. Ada romantisme tersendiri yang saya rasakan. Dari sini, saya bisa menyaksikan perahu
nelayan yang pulang setelah melaut. Perahu-perahu kecil itu keluar masuk dari
bawah jembatan Ulee Lheue yang sibuk.
Sejak dulu Ulee Lheue adalah
lokasi wisata favorit di Kota Banda
Aceh. Setiap akhir pekan tempat ini selalu ramai dikunjungi oleh orang yang
ingin mandi laut. Garis pantainya yang panjang serta ombaknya yang tenang,
memang cocok untuk liburan bersama keluarga.
Namun, tsunami 2004 silam menyapu
habis garis pantai Ulee Lheue. Satu-satunya
bangunan yang kokoh berdiri dari terjangan tsunami ini adalah Masjid
Baiturrahim. Letaknya hanya beberapa meter saja dari laut.
Ulee Lheue adalah salah satu
wilayah paling parah yang diterjang tsunami. Ribuan orang lenyap di sini. Kengerian
itu telah lama berlalu, namun denyutnya masih saya rasakan.
Sekarang, Ulee Lhuee memang
semakin ramai. Orang-orang masih bisa mandi laut meskipun pantainya tak seperti
dulu lagi. Perlahan, tempat ini kembali berdenyut. Mengembalikan jati dirinya
sebagai destinasi pilihan penduduk Kuta Raja.
Lokasi wisata ini sebenarnya
harus tutup ketika pukul setengah 7 sore. Sebelumnya, Ulee Lheue terbuka untuk umum
hingga malam hari. Namun, karena malam hari tempat ini sering menjadi lokasi
pacaran muda-mudi. Akhirnya penduduk setempat memberlakukan peraturan ini.
Tapi saya perhatikan semakin
sore, tempat ini semakin ramai. Bahkan, meskipun portal pintu masuk Ulee Lheue
sudah ditutup pukul setengah 7 sore, yang hanya beberapa menit lagi menjelang
Magrib. Orang-orang masih saja bersantai.
Saat azan berkumandang, barulah jalanan terasa gaduh. Suara klakson bersahutan mengalahkan
suara Muazin.
Hal itulah yang tiba-tiba saya
rasakan saat termenung di pelabuhan tua tersebut. Ulee Lheue yang merupakan saksi dahsyatnya Tsunami Aceh, semestinya
menjadi tempat untuk mensyukuri karunia Tuhan.
Maka, sebelum senja kian turun
saya sudah bergegas pulang.
Ulee Lheue memang telah banyak
berubah. Tapi tempat ini, sejatinya masih memiliki romantisme yang sama, masih
menawarkan senja yang menawan. Namun tetap saja, ada cerita yang tak boleh dilupakan.
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
Sedih liat ulee lheue.. Aku tinggal disana dr thn 2000-2002. Kemudian pindah kuliah ke penang. Awalnya sempet berantem ama papa, krn ga pgn pindah. Tp papa maksa, dan mau ga mau aku pindah ke malaysia. 2004 denger kabar tsunami. Ulee lheue termasuk yg parah dihantam. Rumahku aja hancur :( . Untungnya ga ada satupun keluarga yg saat itu disana. Papa lg di lhokseumawe, mama dan adek2 di medan. Alhamdulillah sujud syukur. Tp aku ngebayangin, seandainya aku keukeuh ga mau ikutin kata papa, apa aku bakal jd korban juga di sana :( .. Agustus kmrn baru aja dr aceh, setelah 15 thn mas ninggalin aceh.. Pangling sih. Aceh berubah total. Bisa dibilang, aku udh ga ngenalin jalan2nya..
BalasHapusMasya Allah, semua memang ada hikmahnya :)
HapusAyo Datang lagi ke Ulee Lheue :D
berubah karena udah jadi lebih modern ya..
BalasHapusYa Bang, akibat globalisasi. lah! :))
HapusSeandainya tempat ini dipugar dengan bagus, maka wisatawan akan lebih banyak menghabiskan waktu menjelang malam di sekitar ini.
BalasHapusSelain itu, wisatawan juga harus bisa menjaga prilakunya ya Bang. :D
HapusTempatnya memang asyik, tapi sayangnya banyak sampah. Geli sendiri lihatnya kalau mau duduk melihat sunset di sini.
BalasHapusBenar Yel, tapi kami lebih memilih di sini dibanding tepi jalan :D
Hapus