Di Depan Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka Siapa tak mengenal Hamka? Bahkan namanya harum di negeri tetangga. Sebuah rumah sederhana, tempat kelahiran Hamka, menyimpan banyak kenangan tentangnya. |
Maninjau adalah danau yang indah. Berada di sini serasa
waktu berjalan lambat, karena semuanya tampak begitu tenang. Padi-padi yang
mulai menguning di tepi Danau Maninjau, meneduhkan pandangan. Udaranya yang
sejuk membuat segalanya begitu syahdu. Soekarno Sendiri pernah mengungkapkan
keindahan Maninjau ini dalam sebuah pantun:
“Jika Adik Memakan Pinang/Makanlah dengan Sirih yang
Hijau/JIka Adik Datang ke Minang/Jangan Lupa Datang ke Maninjau”.
Tapi sebenarnya, bukan hanya karena danaunya saja Maninjau
dikenal. Tapi di tanah ini pernah lahir sosok ulama sekaligus politisi yang
mewarisi begitu banyak keteladanan. Ialah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, dan
bangsa ini mengenangnya dengan sebutan Hamka. Di sinilah Hamka lahir, di
Kampung Molek Maninjau, Sumatera Barat.
Untuk mengenangnya, rumah kelahiran Hamka kini telah menjadi
Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka. Semua penduduk di Maninjau tentu saja akrab dengan nama Hamka. Saat
saya bertanya di mana rumah kelahirannya? Seorang Ibu dengan
logat minangnya yang kental, tampak begitu semangat menunjukkan arah jalannya.
Menuju ke sini, kita terlebih dahulu disuguhi jalan kecil
yang melingkari perbukitan. Pohon-pohon rindang memayungi sepanjang perjalanan.
Rumah kelahiran Hamka itu letaknya tepat berhadapan dengan
Danau Maninjau. Konstruksinya khas rumah adat Minang. Lima Bagonjongnya
menjulang. Untuk masuk ke dalam, Kita terlebih dahulu menaiki beberapa anak
tangga. Dari luar, tampilan rumah ini tampak begitu mengesankan.
Bunga bongsai setinggi lutut, berjajar bak pagar yang
mengiring kita menuju pintu rumah. Dindingnya terbuat dari kayu denga warna
keemasan. Empat jendelanya yang juga berbahan kayu terbuka lebar menghadap ke
depan. Seolah mengesankan, bahwa rumah ini terbuka bagi siapapun yang datang.
Pintu Masuk Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka |
Rumah kelahiran Buya ini dijaga oleh Hanif Rasyid, beliau
adalah keponakan dari Hamka. Dengan ramahnya, beliau menceritakan sejarah Hamka
bagi setiap pengunjung yang datang. Semua barang di dalam rumah ini, memang
menjelaskan tentang Hamka. Seperti sebuah koper besi yang beratnya puluhan
kilogram. Dengan koper itulah, Hamka menunaikan ibadah haji ketika usianya
masih 18 tahun.
Sebuah kursi rotan dan tongkat miliknya juga ada di sana.
Foto-foto Hamka dengan beberapa tokoh nasional melekat di dinding. Seperti
dengan Mohammad Nasir, Soekarno bahkan Soeharto. Hamka yang tersenyum di foto
tersebut, seolah mengisyarakatkan tidak ada masalah apapun di antara mereka.
Ada pula rak-rak yang menampilkan dedikasi Hamka pada
negeri ini. Yaitu buku-buku karangannya serta beragam tulisannya di majalah.
Piagam-piagam penghargaan Hamka juga tegak di rak buku tersebut. Sandingan yang
pantas, dari sebuah karya yang berkualitas.
Lalu, di dalam rumah itu terdapat sebuah ranjang yang
berbalut kelambu berwarna putih. Tepat 17 Februari 1908, di ranjang inilah
Hamka lahir. Untuk mengenang masa kecilnya, sebuah layang-layang besar
tersangkut di langit-langit. “Itu adalah kesenangan Buya ketika kecil,” kenang
Hanif Rasyid. Hanya saja ada yang kurang, yaitu katapel. Itu juga merupakan
mainan kegemaran Buya saat kecil dulu.
Hanif menceritakan sedikit kenakalan Buya, katanya, dulu
Buya juga sering melesatkan ketapelnya pada orang. “Yah, namanya
anak-anak dulu,” Hanif memaklumi kenakalan Buya itu sambil tertawa. Tapi,
mengapa setelahnya Buya menjadi orang yang berarti. Ia dikenang karena
jasa-jasanya. Hanif mengungkapkan bahwa rahasianya adalah, karena Hamka
membuang kata “N” pada sifat “Nakal”nya. Sehingga yang ia gunakan
adalah akalnya. Filosofi yang begitu sederhana.
Hanif juga bercerita, Bahwa kalau pergi ke mana pun, Hamka
selalu bercerita tentang betapa indahnya Maninjau. Sampai-sampai seseorang dari
Belanda bertanya, mengapa bisa demikian? Dan Hamka selalu punya jawaban atas
pertanyaan itu. Katanya, ketika Adam turun dari syurga. Sejumput tanah dari
kaki Adam terjatuh di Maninjau. Benar atau tidak kisah ini, tapi bila kita
melihat peta danau Maninjau yang melekat di dinding rumah Buya itu, memang
terlihat seperti sebuah tapak kaki.
Mengenang Hamka, kita seperti menemukan mutiara keteladanan.
Sosok manusia sederhana yang menampar egoisme kita sebagai manusia. Kita
mungkin masih ingat, bagaimana Hamka rela memaafkan bahkan menjadi imam shalat
jenazah di hadapan jasad Soekarno. Tentu ini bukan hal yang mudah.
Padahal, dulunya tepat tahun 1946 – 1966, Hamka pernah di
penjara selama dua tahun empat bulan oleh Soekarno. Alasannya, karena Hamka
dituduh melanggar UU Anti Subyersif Pempres No. 11. Yaitu merencanakan
pembunuhan Soekarno.
Tapi perhatikanlah jawaban Hamka, ketika banyak orang yang menilai bahwa Soekarno munafik dan menanyakan: "Apakah Buya tidak dendam pada orang yang justru menjerumuskan Buya ke dalam Penjara?"
Dengan jiwa besar Hamka menjawab, "hanya Allah yang lebih tahu orang-orang munafik. Dan saya harus berterima kasih, karena selama dalam penjara saya dapat kesempatan menulis tafsir al qurab 30 juza," ungkap Buya.
Atau bagaimana kerelaan Hamka mengajari anak Pramoediya bernama Astuti ilmu agama. Ia datang belajar, karena akan menikah dengan seorang lelaki keturuann Tionghoa. Padahal, Pram sendiri pernah memfitnah Buya sebagai seorang plagiat melalui koran berhaluan komunis yaitu Lentera yang diasuhnya.
Tapi dengan jiwa besarnya, Hamka akhirnya membimbing menantu Pram itu mengucap syahadat dan mendalami islam.
Ya, mungkin benar kata Yusuf Kalla. Bahwa bangsa ini membutuhkan orang-orang yang berjiwa besar seperti Buya Hamka, yang lantang menyuarakan kebenaran meskipun di hadapan penguasa. Orang seperti Hamka ini, memang selalu dirindukan kehadirannya dan kepergiannya adalah suatu kehilangan besar.
Tapi perhatikanlah jawaban Hamka, ketika banyak orang yang menilai bahwa Soekarno munafik dan menanyakan: "Apakah Buya tidak dendam pada orang yang justru menjerumuskan Buya ke dalam Penjara?"
Dengan jiwa besar Hamka menjawab, "hanya Allah yang lebih tahu orang-orang munafik. Dan saya harus berterima kasih, karena selama dalam penjara saya dapat kesempatan menulis tafsir al qurab 30 juza," ungkap Buya.
Atau bagaimana kerelaan Hamka mengajari anak Pramoediya bernama Astuti ilmu agama. Ia datang belajar, karena akan menikah dengan seorang lelaki keturuann Tionghoa. Padahal, Pram sendiri pernah memfitnah Buya sebagai seorang plagiat melalui koran berhaluan komunis yaitu Lentera yang diasuhnya.
Tapi dengan jiwa besarnya, Hamka akhirnya membimbing menantu Pram itu mengucap syahadat dan mendalami islam.
Ya, mungkin benar kata Yusuf Kalla. Bahwa bangsa ini membutuhkan orang-orang yang berjiwa besar seperti Buya Hamka, yang lantang menyuarakan kebenaran meskipun di hadapan penguasa. Orang seperti Hamka ini, memang selalu dirindukan kehadirannya dan kepergiannya adalah suatu kehilangan besar.
Seperti sebuah foto yang saya lihat di samping pintu rumah Hamka. Tampak ribuan orang mengantar jenazah ulama sekaligus sastrawan ini ke tempat peristirahatan terakhirnya. Maka berada di rumah Hamka, kita bisa merasakan semangatnya lagi. Ia datang, dan mengetuk-ngetuk nurani kita.
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 comments:
Posting Komentar