Intat Linto, Saat Kebahagiaan Bukan Hanya Milik Pengantin
Intat Linto dalam Masyarakat Aceh |
Tubuh saya terguncang-guncang saat melewati jalan kampung
yang berbatuan. Mobil kami harus memutar sejauh 8 KM dari jalan raya karena
jembatan Kuta Blang tak kunjung usai. Saya tak tahu, kapan jembatan yang
menghubungkan jalan nasional ini rampung.
Telah hampir genap setahun, tapi rasanya masih begitu-begitu
saja. Bak bujang lapuk yang pesimis dengan masa depan asmaranya, mungkin begitu
pulalah nasib jembatan ini.
Saat itu saya satu mobil dengan Linto Baro (pengantin pria) yang juga adik ipar saya. Kami akan
menuju Lhoksukon untuk prosesi Intat Linto (Mengantar Pengantin Pria)
dalam tradisi masyarakat Aceh.
Perjalanan kali ini bagi saya terasa lebih istimewa. Karena Intat Linto ini, adalah hajatan pertama
saya setelah menjadi bagian dari keluarga besar Istri yang berdarah Bireuen.
Setelah menempuh dua jam perjalanan dari Birueun akhirnya
kami sampai di Kampung Dara Baro (Pengantin Perempuan). Rombongan pengantin ini
cukup mudah dikenal. Karena bagi masyarakat Bireuen, salah satu armada wajib
rombongan pengantin adalah sebuah bus dengan nama Bireuen Express. Atau lebih
dikenal dengan Bus BE. Jika tidak ada, tak masalah juga. Bisa diganti dengan
Bus dari Pemkab.
Bus BE, Armada Wajib Masyarakat Bireuen untuk Intat Linto |
Rombongan berhenti di Meunasah yang letaknya tak jauh dari
rumah Dara Baro. Di Meunasah, sang Linto
Baro bersiap-siap mengenakan pakaian adat aceh. Songket khas Aceh melekat
di pinggangnya. Sebilah rencong menghujam di balik celana hitam. Sang pengantin
kian gagah setelah Kupiah Meuketop tersemat di kepalanya.
Sambil bersandar di tiang Meunasah, saya tersenyum melihat
penampilan raja sehari tersebut. Terbanyang ketika menikah dulu, semua atribut
pengantin itu saya kenakan dengan hati yang berbunga-bunga. Ah manis sekali…
Setelah dirasa siap. Rombongan Linto Baro pun bergerak menuju rumah Dara Baro. Bersama para pemuda lain, saya pun mendapatkan tugas
terhormat yaitu menjinjing hantaran layaknya prajurit menyerahkan upeti.
Hantaran yang kami bawa ini cukup beragam, yang terdiri dari
selusin limun, makanan, beras, kue, pakaian, properti pengatin perempuan
lengkap dengan bedak-bedaknya, buah kelapa serta enam batang tebu bersama
daun-daunnya.
Rombongan pengantin ini bergerak dengan diiringi shalawat,
begitu sampai di halaman rumah pengantin. Rombongan kami langsung disambut oleh para
Meudike yaitu grup dzikir yang terdiri dari sekumpulan pemuda.
Rombongan Linto Baro beserta hantarannya |
“Selamat datang linto
baro, kamoe ka preh dari poh tujoh, (Selamat datang pengantin pria, kami
sudah menunggu dari pukul tujuh)” dendang para Meudike secara acapella.
Dari sebait lagu tersebut, saya pun mengira-ngira. Sudah berapa lagu yang mereka dendangkan sejak pagi tadi? Hm…
Setelah berjalan bersama mengantarkan Linto Baro di depan rumah tambatan hatinya. Rombongan kami akhirnya
terpisah ketika tiba di meja prasmanan. Saya pun bergegas masuk dalam antrian kaum pria yang mengular di
meja hidangan itu.
Menu-menu khas Aceh
tersaji di meja. Perjalanan yang jauh
serta siang yang terik, membuat perut saya kian berisik. Empat lelaki berwajah serius menjaga hidangan. Sorot
mata mereka ramah, tapi serius. Seolah mengisyaratkan, “ambillah secukupnya, ingat tamu yang lain.”
Setiba di meja hidangan, salah seorang lelaki berwajah serius
tadi menyerahkan piring kepada saya beserta tisu yang direkatkan permen Kiss. Kuah
kari dengan cincangan pisang muda terus menggoda saya.
Menu khas Aceh satu ini, tampil paling pertama. Seolah
menjadi pemimpin dari menu lainnya. Setelahnya, barulah berurutan menu-menu
pelengkap seperti mihun goreng, telur asin, gado-gado, tauco kikil serta
sekaleng kerupuk ikan.
Lalu di ujung meja, yang merupakan penyempurna sekaligus kontji semua menu di
piring tetamu. Tersajilah piring-piring kecil yang berisikan daging rendang.
Setiap piring berisikan empat potong daging dengan bumbunya yang kental.
Sebagian tamu ada yang langsung menelungkupkan daging rendang
tersebut ke dalam piringnya. Sementara saya mengambil cara kedua, yaitu membawa
piring kecil tersebut ke tempat duduk. Menjauhkannya dari keramaian. Saya
sengaja memilih cara demikian, karena jika langsung menelungkupkannya, hanya
membuat piring saya tampak semakin penuh.
Seperti saya, dua anak kecil ini juga menjauh dari keramaian hehe |
Makan siang ini tak berlangsung lama. Tapi menjadi bagian
penting dalam tradisi mengantar pengantin. Banyak tenaga yang terkuras demi
memberikan sajian terbaik untuk para undangan ini. Mulai dari perajang nangka,
peramu bumbu, pembuat tungku, pengukur kelapa, penyincang daging, pelipat tisu,
sampai para pencuci piring. Mereka bekerja keras sesuai passion-nya masing-masing.
Setelah makan, para tokoh masyarakat dari kedua mempelai
duduk berhadapan. Setiap pihak diwakiliki oleh Keuchik (Imam Desa) ataupun Tengku
Imum (Imam Kampung) untuk menyampaikan sambutan sekaligus serah terima
pengantin. Acara semi formal ini berlangsung khidmat.
Nasihat dari rombongan kami diwakili oleh Teuku Sofyan selaku Tengku Imum. Nasihatnya jelas dan
visioner, yaitu mengingatkan pengantin pria untuk menjadi suami yang baik, membina
bahtera rumah tangganya agar rukun sampai akhir hayat. Rajin ke masjid, gemar
gotong royong dan jangan pernah lupakan kampung halaman.
Lalu tak lupa pula menitipkan pesan kepada tokoh masyarakat
setempat, untuk meluruskan akhlak pengantin pria ini jika suatu saat nanti
mulai tak wajar prilakunya.
Teuku Imum memberikan nasihat serta menyerahkan secara simbolis Linto Baro |
Setelah acara serah terima ini usai, lalu sepasang pengantin ini pun di-peseujuk. Inilah moment yang paling mengharukan, saat orang tua mendokan anaknya. Menyadari sepenuhnya, kalau sang anak kini telah menjadi tanggungan orang lain.
Menjelang siang, setelah semua prosesi Intat Linto ini tunasi. Satu persatu rombongan pulang. Tinggallah Linto Baro bersama pendamping hidupnya. Tapi kebersamaan kedua anak manusia ini tak berlangsung lama. Karena dalam tradisi masyarakat setempat, Linto Baro juga harus kembali pulang.
Menjelang siang, setelah semua prosesi Intat Linto ini tunasi. Satu persatu rombongan pulang. Tinggallah Linto Baro bersama pendamping hidupnya. Tapi kebersamaan kedua anak manusia ini tak berlangsung lama. Karena dalam tradisi masyarakat setempat, Linto Baro juga harus kembali pulang.
Walau secara hukum mereka sudah sah sebagai suami istri, tapi
secara adat istiadat masih ada syarat yang harus mereka tunaikan. “Malang nian nasib kalian,” pikir saya.
Perjalanan hari itu benar-benar memberikan kesan tersendiri
bagi saya. Acara Intat Linto ini
berlangsung sederhana, tapi terasa sekali kebersamaannya. Kebahagiaan ini juga
dirasakan oleh para pedagang kecil seperti penjual es krim, kacang rebus,
mainan anak, manisan, serta penjual bakso bakar.
Semaraknya Pernikahan di Aceh, semua orang berbahagia |
Entah siapa yang mengabari? Tapi setiap kali ada hajatan
pernikahan, para pedagang kecil ini selalu ada. Menjadi bagian dari semaraknya acara pernikahan. Mereka seolah sudah tahu jauh hari
sebelum ketua KUA menetapkan tanggal.
Diam-diam saya pun memahami, mungkin demikianlah jika kita menikah.
Semua orang turut merasakan kebahagiaan. Hanya orang yang patah hati dan bujang
lapuk saja, yang sedikit sensitif dengan kabar bahagia ini. Peace!
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
Saya suka penyambutan linto baro oleh group meudike. Aceh sekali. Tapi agak sedikit ragu apa betul mereka sudah sedia dari jam tujuh pagi? hmm
BalasHapusBegitulah yang mereka dendangkan. Tapi, imvrovisasi dalam seni adalah hal yang dimaklumi Dek Mat
HapusAhahaha, bujang lapuk kan bahagia pada waktunya ya bang :D
BalasHapusWaktu yang terus menjadi misteri xixix
Hapusberat ya prosesi adat Aceh :D
BalasHapusJalan yang berat demi kebersamaan yang indah #Eaak :D
HapusSekarang gampang kali menandai kalau Linto Baro itu warga Bireuen, ya rombongannya datang dengan BE. Si legend dari Bireuen. Unik nih.
BalasHapusBireuen memang hana lawan :D
HapusSelalu senang membaca tulisan dan menyaksikan proses budaya Aceh seperti ini. Semakin lengket deh di hati, dan semakin bangga menjadi bagian dari Aceh.
BalasHapusAyo Yel, kenalkan Aceh pada dunia :D
Hapus