Ketika berada di puncak Rinjani, tanpa sengaja kaki saya
menyenggol sebuah batu yang posisinya tepat di tepi jurang. Ukurannya sekepalan
tangan. Batu itu pun terjatuh, menghantam bongkahan batu lainnya, lalu
menggelinding tak beraturan ke dasar kawah. Saya bergidik . Ada denyut
kengerian yang saya rasakan. Sebab di bawah sana, pada dasar kawah yang tertutup asap itu. Siapapun yang terjatuh, segala
kengerian menjadi tak terbayangkan.
Tergelincirnya batu itu, menghadirkan kesadaran baru dalam diri
saya. Tentang perasaan aman yang sering kali menjebak. Perasaan tak peduli yang
kemudian menjadi petaka. Batu itu, yang letaknya tepat di tepi kawah dan entah
semenjak kapan berada di sana. Sekiranya kita analogikan batu itu sebagai
makhluk, tentu ia tak akan pernah menduga, ia akan terjatuh hanya karena
sentuhan kaki yang tak saya sadari.
Begitulah kita, yang kadang merasa sudah aman. Lalu merasa tak
peduli dengan sekitar. Padahal kita sadar, bahwa kita berada begitu dekat
dengan segala kerusakan. Kita berada di antara kekacauan moral yang semakin
menjadi-jadi. Lihatlah kini, di televisi misalnya. Sesuatu yang tak pantas
telah menjadi tontonan yang layak disaji. Lalu tanpa sadar semua akibat buruk
dari tayangan itu sampai juga pada diri kita, keluarga ataupun orang-orang
terdekat kita. Akibat buruk itu Menyebar deras karena mulanya tak ada yang
peduli.
“Tempat
tergelap di neraka, dicadangkan bagi mereka yang tetap bersikap netral di saat
krisis moral” Begitulah yang tertulis dalam novelnya Dan Brown,
Inferno.
Ya. sikap seperti ini hanya akan menjadi bom waktu dalam
kehidupan kita sendiri. Rasa aman yang menjebak, perasaan cukup yang semu. Maka
menjadi peduli bukan hanya tentang cara kita memberi, cara kita melindungi,
ataupun tentang menjadi orang yang turut berarti.
Peduli adalah juga tentang menjaga diri kita. Cara kita merawat
masa depan dengan segenap nilai yang baik. Oleh karenanya, narasi yang selalu
dilekatkan bagi mereka yang peduli adalah bahasa ketulusan. Sebab orang yang
peduli sadar, bahwa ini demi rasa aman yang kolektif. Maka egoisme harus luruh
di sini.
Lagi pula, menjadi peduli adalah sikap semestinya dari seorang
muslim. Seperti yang diungkapkan Rasulullah; “Sesungguhnya Allah akan bertanya
kepada hambaNya di hari kiamat sehingga Dia berfirman: Apa yang menghalangi
kamu apabila melihat kemungkaran, namun kamu tidak mencegahnya? Maka dia pun
menjawab: Aku takut kepada manusia. Maka Allah berfirman: Aku lebih berhak
untuk engkau takuti” (HR. Imam Ahmad)
Setelah suara batu yang jatuh itu tak lagi terdengar. Saya
terduduk di tepi kawah. Terdiam dengan pandangan masih tertuju pada kawah yang
curam itu. Batu itu telah berpindah tempat hanya dalam hitungan detik. Dari
mulanya di atas puncak yang penuh pesona ini, sampai terjatuh ke dalam kawah
yang mematikan.
Mungkin kita juga akan demikian, bila bahasa kepedulian telah
meniada dalam kamus kehidupan kita. Acuh terhadap terhadap segala keburukkan
yang mengusik nurani. Maka bukan tidak mungkin, nasib kita bisa menjadi seperti
batu itu. Terjatuh, karena diri ini terus memilih diam terhadap kemungkaran.
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
Cadas dan bernapas!
BalasHapusSayang sekali waktu di Lombok tidak sempat manjat Rinjani :(
Payah datang lagilah Bang :D
HapusLagi-lagi bijak, Pakcik!
BalasHapusMari menjadi lebih baik
HapusUntaian kata yang menyusun kalimat dalam tulisan ini, mantap banget bg! Izin Aku ambil satu kalimat untuk dikirimkan ke sesorang ya bg! Hehehehe :D
BalasHapusSilahkan Yel
HapusZtt... untuk siapa tuh??
hiks.. kok jadi kisah renungan yang bikin menyayat hati sih kak Ibnu :(
BalasHapusItu tandanya kita harus segera taubat hiks....
Hapus