Di Tanah Asal kita, Semua Masakan Menjadi begitu Istimewa
Setiap Sajian Punya Ceritanya Sendiri |
Di tanah asal
kita, semuanya bisa menjadi begitu istimewa. Begitupun tentang makanan. Padahal
mungkin saja, di tempat kita berpijak sekarang ini, ada yang jauh lebih menarik.
Lebih menggoda selera. Tapi begitulah, jarak antara diri kita dan tanah asal
telah menerbitkan rindu yang tak mudah. Rindu yang penawarnya hanya ada di
sana, di tanah asal kita. Meskipun itu hanya kerinduan pada sepiring makanan.
Tanah asal itu
bisa bermakna apa saja. Negeri sendiri, kampung halaman, tanah kelahiran, atau
tempat di mana kita pertama kali memulai sebuah episode hidup yang baru.
Semakin jauh rentang diri ini dengan tanah asal, semakin lekat rindu itu
memeluk diri kita.
Maka, sepiring
nasi panas dan sepotong ikan asin di rumah, jauh punya makna. Dibandingkan
sepiring ayam goreng di rumah makan mewah. Itu karena, yang kita kecap bukan saja tentang rasa. Bila
hanya rasa, itu sudah tuntas nikmatnya hanya sampai pangkal lidah.
Tapi, ketika
kita mencicipinya di rumah, yang kita kecap adalah segala perasaan yang ada
keterkaitannya dengan sepiring nasi panas itu. Orang-orang yang meraciknya,
suasana rumah, bau dapur. Itu semualah yang membuat enaknya masakan di rumah
menjadi sulit didefinisikan.
Secara tak
sadar, mungkin dulu kita menganggap ini perkara biasa. Makan di rumah hanyalah sebuah
rutinitas. Berkumpul bersama keluarga di
meja makan, hanyalah ceremonial. Kita
mengambil nasi, menambah lauk. Mendengarkan nasehat ayah. Menceritakan hal-hal
ringan di meja makan. Semua rutinitas itu, kita melewatinya dengan perasaan
yang biasa-biasa saja.
Akan tetapi,
ketika jarak membentangkan diri kita. Kita baru sadar. Rutinitas itu punya
makna. Makan bersama keluarga adalah tradisi yang indah. Dan itu adalah
potongan episode kehidupan kita yang paling berkesan. Kita merindukan suara
dentingan sendok yang beradu dengan piring. Atau dipan-dipan tempat kita makan
siang bersama keluarga. Semua itu, apapun yang telah kita mulai, mengenangnya
selalu menyesakkan dada.
Belum lagi pernik-pernik
kenangan yang ada di dalamnya. Memori yang memperlihatkan betapa egoisnya kita
saat makan dulu. Seperti, ketika kita ribut dengan adik karena tak kebagian
nasi. Kuah yang tumpah karena kita rebutan mengambil lauk. Teguran lembut ibu
agar kita makan dengan tenang. Semua kenangan itu, yang dulunya membuat kita
berang. Yang menunjukkan betapa egoisnya diri ini. Bila kita mengenangnya
sekarang, membuat kerinduan kita pada makanan tanah asal semakin tak
tertahankan.
Ingin rasanya
kita memutar tuas waktu, melemparkan diri kita jauh ke masa silam. Kita ingin
mengulangnya kembali, rutinitas makan yang sederhana itu. Dan bila hal ini
terjadi, rasa-rasanya biarlah saat itu kita menjadi pribadi yang mengalah.
Namun, karena waktu tak bisa diputar kembali. Satu-satunya cara kita merindukan
kenangan itu, adalah dengan mencicipi makanan tanah asal.
Meskipun, kita tidak
akan menemukan penawar kerinduan makanan itu di sini, tempat kita berpijak
sekarang. Kalaupun ada, mungkin hanya meredakkan kerinduan yang sebentar.
Betapa banyak rumah makan tradisional, menkonstruksikan bangunannya agar
seperti rumah sendiri. Meracik menu-menu desa. Tujuannya hanya satu, untuk
mengobati kerinduan orang-orang pada tanah asalnya.
Itu memang bisa
meredakan sedikit kerinduan kita, pada makanan tanah asal, tapi tidak
sepenuhnya. Kita akan terus merindu, sampai kaki ini berpijak kembali di tanah
asal. Tempat pertama kali kita mencicipinya.
Di tempat kita
berpijak sekarang, semua makanan memang tersaji. Lebih menggoda. Variasinya
penuh selera. Tapi makanan di tanah asal selalu punya daya tariknya sendiri.
Lebih dari sekedar rasa secara harfiah: Manis, asam, ataupun pedas. Di tanah asal kita, setiap makanan yang
tersaji adalah persembahan cinta. Ia diracik oleh orang-orang yang punya
keberartian dalam hidup kita. Ayah, ibu, kakak atau siapapun itu. Mereka
menyajikan makanan lebih dari sekedar hidangan, setiap sajian mereka selalu
punya kesan.
Mulanya Hanya Sajian, Kemudian Menjadi Sebentuk Kerinduan |
Di tanah asal, makan
itu mulanya hanyalah sebuah kebutuhan. Tapi di tempat kita berpijak sekarang,
rutinitas makan itu punya makna filosofis. Ia menghangatkan ruang hati kita.
Mencicipinya, mampu menarik diri kita pada lembar-lembar memori masa silam. Bila
di tanah asal kita makan untuk mencari kenyang, maka di tanah kita berpijak
sekarang, makan adalah untuk mengenang.
Seperti teman saya yang merantau ke Taiwan untuk kuliah. Ia Meninggalkan begitu jauh tanah asalnya
yaitu Aceh. Di Taiwan, kerinduannya terhadap masakkan Aceh sering muncul
tiba-tiba. Padahal makanan itu biasa saja, seperti gulai asam keueng, tak jauh
beda dengan gulai berasam. Bila telah demikian, biasanya ia pergi bersama temannya
untuk membeli rempah-rempah. Meracik masakkan Acehnya. Mengobati rindunya
sendiri.
Bila sekali
waktu pulang kampung. Ia meminta ibunya untuk memasak apa yang dulu
pernah ia masak. Semua menu makanan, yang baginya dulu adalah makanan yang
biasa ia cicipi. Ia ingin mengulangnya kembali. Ingin menikmati saat-saat
romantika masa lalunya lagi. Saat ibunya menyajikan semua menu itu. Ia ingin
terlibat langsung. Saat itulah, berangsur-angsur kerinduannya terobati.
Setiap kita,
tentu punya menu istimewanya sendiri di tanah asal. Biasanya menu itu juga
tidak terlalu mewah. Sederhana. Terkadang, makanan tersebut pun mudah di temukan.
Tersaji di mana saja. Namun mengapa? Hanya berbeda tempat kita mencicipinya,
justru menimbulkan kesan rasa yang jauh berbeda. Pertanyaan-pertanyaan seperti
ini. Terkadang membuat kita tersenyum sendiri untuk menjawabnya.
Kapan terakhir
kali kita menikmati menu istimewa itu. Sebagian kita, mungkin bisa mengingat
moment-nya dengan jelas. Kapan dan di mana? Serta bersama siapa kita
menikmatinya ketika itu. Ini wajar. Sebab rasa nikmat dari makanan tersebut,
masih terasa hingga sekarang. Terbungkus rapi bersama kenangan-kenangan
kita. Pada batas hari itu, hingga sekarang. kita hidup dalam imajinasi rasa
tersebut. Rasa dari makanan di tanah asal.
Pada sepiring
makanan yang tersaji di hadapan, terkadang itu cukup mencerminkan, bagaimana
diri kita di masa silam. Kita menemukan diri kita di sana. Kenangan-kenangan
bersama orang yang kita cintai. Rasa enak yang kita kecap pada makanan tersebut,
sebenarnya adalah akumulasi dari beragam perasaan kita pada tanah asal.
Seperti Seperti teman saya yang kini menetap di luar negeri. Ia harus terpisah jauh dengan keluarganya karena
alasan belajar. Makanan tanah air yang paling ia suka adalah gado-gado dan
rendang. Di tempatnya sekarang, makanan tersebut bisa dimasaknya sendiri. Mudah. Menikmati
makanan tersebut adalah caranya merindukan tanah air sekaligus keluarganya.
Apalagi, dirinya
adalah seorang perempuan yang mempunyai anak dan suami. Dan salah satu rutinitas
yang paling ia rindukan adalah, menyajikan makanan tersebut untuk orang yang
dicintainya itu. Kini, saat terpisah jauh hal tersebut tentu tidak mungkin
dilakukan. Sepiring gado-gado atau rendang yang ia nikmati sendiri di tempatnya kin,
memang nikmat. Tapi jauh punya makna saat ia menikmatinya bersama keluarga. Karena
itulah, ia bertekad, bila pulang nanti ia akan menyajikan menu istimewa
tersebut untuk keluarganya.
Begitulah, pada
sepiring makanan dari tanah asal yang
tersaji. Kita menemukan banyak cerita lain. Sisi-sisi kehidupan kita. Arti
kesendirian kita di tanah asing ini. Rasa enak memang bisa menjadi begitu bias.
Ada banyak prespektif yang muncul, hanya untuk memutuskan makanan itu enak. Namun,
semua prespektif tentang enak itu
akhirnya bermuara juga.
Sebab makanan,
apapun definisinya tetaplah masuk melalui mulut. Terkecap oleh lidah. Terlepas
dari apapun perasaan yang menyertai makanan itu masuk ke mulut. Makanan itu
tetaplah sebuah materi. Perasaan kitalah yang memberi rasa lain pada makanan
itu, membuatnya lebih nikmat. Orang-orang juga mencicipinya, tapi kerinduan
kita pada tanah asal, kenangan kita pada makanan itu, membuat makanan tersebut
punya cita rasanya tersendiri.
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 comments:
Posting Komentar