Tak jarang, tulisan ataupun foto-foto para penikmat travelling ini selalu saja membuat kita
cemburu. Mereka keluar dari rumahnya, lalu pergi ke tempat-tempat yang menarik.
Menikmati keindahan alam Indonesia, yang mungkin bagi sebagian kita, adalah
mimpi yang sulit dijangkau.
Menariknya “racun travelling”
ini tak memandang gender maupun usia. Siapa sangka, seorang perempuan bisa
sampai ke puncak gunung Rinjani, yang merupakan salah satu gunung tertinggi di
Indonesia. Setapak demi setapak ia memanggul carrier ukuran 50 liter, lalu berpose dengan sumringahnya saat matahari
terbit di puncak gunung dengan ketinggian 3726 Mdpl itu.
Suatu Pagi di Kaki Gunung Rinjani |
Selain itu, para pecinta dunia pendakian tentu kenal Willem Sigar
Tasiam yang merupakan pendaki marathon. Ia bisa “menaklukan” 30 gunung hanya
dalam waktu 40 hari. Padahal usianya sudah lebih 50 tahun. Semua ini hanyalah
sedikit fakta, bahwa siapapun bisa menjadi seorang traveller.
Meskipun demikian, fenomena travelling juga tak ubahnya dua mata pisau. Di satu sisi, fenomena travelling memberikan dampak yang cukup
signifikan dalam promosi potensi wisata suatu daerah. Orang-orang datang
berkunjung, lalu masyarakat setempat merasakan manfaat ekonomi dari kehadiran
mereka.
Industri kreatif hari ini juga tak lepas dari pengaruh dunia travelling. Misalnya, sering kita lihat perusahaan
yang mempromosikan produknya dengan ala traveller.
Bahkan dunia literasi juga merasakan dampaknya. Seperti yang diungkapkan Benny
Ramdhani, seorang editor di sebuah
penerbit mayor. “Salah satu genre buku yang tinggi peminatnya saat ini adalah travelling,” tulisnya dalam sebuah
perbincangan dengan penulis via twitter.
Sunrise di Tebing Gunung Sindoro |
Meskipun demikian, dunia travelling
juga memberikan dampak yang negatif. Sebagai contoh, banyak objek wisata yang
mulanya indah dan alami, tapi kemudian menjadi rusak karena prilaku buruk para traveller. Seperti mereka buang sampah
sembarangan ataupun melakukan vandalism.
Hingga sempat beredar sebuah joke yang cukup menyentil, “kalau ada tempat keren, jangan kasih
tahu anak alay. Nanti dirusak sama
mereka”.
Kecerobohan mereka juga sering kali berakibat fatal. Seperti
kebakaran hutan yang terjadi di gunung Slamet beberapa waktu lalu, akibat ada
pendaki yang ceroboh membuang punting rokok. Bahkan ada pula yang sampai
kehilangan nyawa. Di Aceh sendiri, cerita pahit seperti ini sudah beberapa kali
kita dengar.
Hal inilah yang kerap menjadi perbincangan panas di
forum-forum travelling. Banyak yang
menilai, penyebab buruknya prilaku para traveller
ini adalah karena mereka tidak melakukan persiapan yang matang dalam sebuah
perjalanan. Termasuk di dalamnya pengetahuan terkait dunia travelling itu sendiri, seperti tindakan apa yang harus dilakukan
ketika dalam kondisi kritis.
Merah Putih di Plawangan, Gunung Rinjani |
Selain itu, faktor lain yang cukup berpengaruh adalah egoisme
para traveller. Hanya ingin
mendapatkan sebuah foto selfie yang keren, mereka rela menantang maut dengan
berpose di tempat yang berbahaya. Hanya karena ingin diakui sebagai traveller, tanpa merasa berdosa mereka
melanggar peraturan.
Oleh sebab itu, fenomena dunia travelling ini harus bisa disikapi dengan cerdas bagi siapapun
juga. Jika kita ingin mendedikasikan diri menjadi seorang traveller, maka sudah seharusnya kita mengedukasi diri dengan
pemahaman yang baik terkait dunia travelling.
Agar setiap langkah kita, meninggalkan jejak yang baik. Agar setiap perjalanan
kita, menjadi cerita yang berkesan.
Jadi, mari menjadi traveller yang cerdas. Happy travelling!
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 comments:
Posting Komentar