Hamparan perkebunan kelapa sawit di Aceh Tamiang. |
Jika kita mengunjungi Aceh Tamiang maka kita akan menyaksikan
pemandangan yang paling monoton. Begitu melewati perbatasan Sumatra Utara –
Aceh, pemandangan yang tersaji hanyalah hamparan perkebunan sawit. Pemandangan seperti
ini, akan terus berlanjut hingga kita sampai kembali di perbatasan Aceh Tamiang
– Langsa.
Di Aceh Tamiang, kelapa sawit memang menjadi komoditas
unggulan. Saya ingat ketika salah seorang pejabat publik Aceh Tamiang pernah
berkata. “Tamiang itu adalah daerah yang kaya, karena di bawahnya minyak
(minyak bumi) dan di atasnya minyak (kelapa sawit),” ucapnya bangga.
Orang-orang pun bertepuk tangan, sementara saya sebagai orang asli Aceh Tamiang
hanya mampu tersenyum kecut.
Pasalnya, pejabat tersebut mengabaikan fakta lain terkait
sektor perkebunan kelapa sawit ini, bahwa 80% wilayah Aceh Tamiang telah
dikuasai oleh Hak Guna Usaha (HGU) kelapa sawit (Serambi Indonesia, 8/4/2016).
Bayangkan saja, angka 80% itu sama maknanya bahwa hampir seluruh wilayah Aceh
Tamiang adalah pohon sawit. Ironisnya lagi, HGU ini dimiliki oleh
perusahan-perusahan swasta sehingga masyarakat kecil hanya mampu menjadi buruh
pada perusahaan tersebut.
Maka wajar saja, kalau angka kemiskinan di Aceh Tamiang masih
tergolong tinggi. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS)Aceh, angka kemiskinan Aceh Tamiang per-Maret 2014 adalah 39,91 ribu jiwa.
Angka ini kemudian meningkat kembali pada bulan yang sama tahun 2015 yaitu
40,38 ribu jiwa. Angka ini sekaligus menunjukkan, bahwa sektor perkebunan
kelapa sawit tidak berarti banyak dalam mengurangi angka kemiskinan di Aceh
Tamiang.
Di sisi lain perkebunan kelapa sawit sebenarnya bisa memicu
berbagai masalah baru, yang jika tidak segera diatasi maka bisa menjadi bom
waktu yang siap meledak kapan saja. Salah satu permasalahan yang paling genting
dari dampak perkebunan kelapa sawit ini adalah, kerusakan lingkungan dan tata
ruang Aceh Tamiang
Saya ingat ketika banjir besar melanda Aceh Tamiang pada
penghujung tahun 2006. Saat itu kayu-kayu besar dari hulu Tamiang hanyut menuju
hilir. Beberapa orang di kampung saya memberanikan diri untuk mengambil kayu
besar tersebut. Tak bisa dipungkiri, kalau kayu besar ini adalah hasil perambahan
hutan yang dilakukan oleh masyarakat.
Aceh Tamiang saat banjir besar tahun 2006 (Foto oleh Arief Ariadi/EPA) |
Hal ini terjadi karena masyarakat terdesak, sebab lahan
mereka untuk bercocok tanam kian sempit. Semua ini adalah akibat dari perluasan
perkebunan kelapa sawit di Aceh Tamiang yang telah melampui batas. Pada lebaran
lalu, saya menyempatkan diri berkunjung ke Tamiang Hulu. Saya ingin menyaksikan
sendiri kondisi lingkungan sana. Luar biasa, seluas mata memandang yang saya
saksikan hanyalah pohon-pohon sawit.
Perkebunan kelapa sawit tidak hanya mengancam perkenomian
masyarakat, tapi juga kelangsungan hidup mereka untuk mendapatkan air bersih.
Seperti yang terjadi tempo hari, beberapa desa di Tamiang Hulu seperti
desa Wonosari, Harum Sari serta Bandar Setia mengalami krisis air. Tanah-tanah di
sana menjadi kering, sehingga penduduk setempat kesulitan untuk bercocok tanam.
Bibit pohon kelapa sawit yang mulai tumbuh di Tamiang Hulu |
Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang tak wajar, juga menyebabkan kondisi tata ruang Aceh Tamiang menjadi kacau.
Sehingga pemerintah kesulitan membangun fasilitas publik. Cobalah lihat
kantor-kantor pemerintahan Aceh Tamiang yang ada di Karang Baru. Hampir semua
bangunannya berdiri di antara pohon-pohon kelapa sawit. Masyarakat Aceh Tamiang
pun bingung jika ingin berwisata, karena tak ada ruang terbuka hijau yang
bisa menjadi tempat refreshing.
Maka wajar saja jika beberapa waktu lalu, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Peduli Lingkungan Hidup di Aceh Tamiang, merasa kecewa terhadap
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Tamiang. Pasalnya, Pemkab Aceh Tamiang
menunda usulan moratorium (jeda sementara) penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) baru
perkebunan kelapa sawit, sambil menunggu kebijakan nasional yang akan
dikeluarkan oleh pemerintah pusat. (Harian Medan Bisnis, 11/6/2016).
Padahal moratorium ini sangat penting. Karena sejatinya ada
begitu banyak hal yang harus dievaluasi, sebelum Pemkab Aceh Tamiang
menerbitkan kembali HGU. Muhammad Nasir, Kepala Bidang Advokasi Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi) Aceh pernah mengatakan, bahwa review izin kelapa sawit
adalah agenda penting yang harus segera terealisasikan.
Menurut Nasir, Ekspansi kelapa sawit dalam skala besar telah
banyak mengubah fungsi hutan. Selain itu, ketidakpatuhan perusahaan terhadap
hukum dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit, menjadi faktor utama
terjadinya bencana banjir di Aceh. (Mongabay, 18/8/2016).
Oleh sebab itu, saya berharap Pemkab Aceh Tamiang harus
melihat semua masalah lingkungan dari perkebunan kelapa sawit ini lebih jernih lagi.
Agar bisa mengambil langkah bijak, sehingga kerusakan lingkungan di Aceh Tamiang tidak semakin parah.
Saya kira, langkah pertama yang harus ditempuh Pemkab Aceh
Tamiang adalah, terlebih dahulu mengubah mindset
pembangunannya. Aceh Tamiang bukan hanya sawit! Hal ini harus dipahami betul oleh para pengambil kebijakan.
Karena sebenarnya ada banyak sumber pendapatan lain yang sangat potensial di Aceh Tamiang, salah satunya adalah sektor pariwisata. Di Tamiang Hulu misalnya, ada begitu banyak objek wisata yang sangat menjanjikan. Seperti Air Terjun Gunung Pandan, Kuala Paret, Air Terjun Tingkat Tujuh dan lain sebagainya. Jika potensi wisata ini dikelola dengan baik, saya yakin Aceh Tamiang tak perlu lagi bergantung pada sektor perkebunan kelapa sawit.
Karena sebenarnya ada banyak sumber pendapatan lain yang sangat potensial di Aceh Tamiang, salah satunya adalah sektor pariwisata. Di Tamiang Hulu misalnya, ada begitu banyak objek wisata yang sangat menjanjikan. Seperti Air Terjun Gunung Pandan, Kuala Paret, Air Terjun Tingkat Tujuh dan lain sebagainya. Jika potensi wisata ini dikelola dengan baik, saya yakin Aceh Tamiang tak perlu lagi bergantung pada sektor perkebunan kelapa sawit.
Secara geografis, posisi Aceh Tamiang juga sangat stretegis karena berbatasan langsung dengan Sumatra Utara. Kondisi ini sebenarnya bisa menjadi keuntungan bagi Negeri Bumi Sedia ini untuk meningkatkan sektor perdagangannya. Apalagi telah menjadi rahasia umum, kalau provinsi Aceh memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap Sumatra Utara. Baik untuk kebutuhan pokok maupun energi (listrik).
Kuala Paret, salah satu objek wisata di Tamiang Hulu |
Tapi saya melihat, Pemkab Aceh Tamiang tidak memiliki
kesungguhan untuk mengembangkan sektor pendapatan baru. Belum ada langkah strategis untuk memanfaatkan segala potensi yang ada. Mungkin, karena fokus
pembangunan Aceh Tamiang selama ini hanya dari sektor perkebunan kelapa sawit.
Sehingga Pemkab Aceh Tamiang merasa nyaman, lalu tidak memiliki inovasi apapun untuk
mengembangkan potensi daerahnya.
Sekali lagi, masih ada waktu untuk mengubah Aceh Tamiang
menjadi lebih baik. Mencegah segala macam kerusakan lingkungan akibat dari kepungan perkebunan kelapa sawit yang kian tak wajar ini. Semua ini bisa di mulai dengan terlebih dahulu mengubah mindset pembangunan dari Pemkab Aceh
Tamiang, dan tentu saja sebuah keberanian untuk keluar dari zona nyaman.
*Tulisan ini diikutsertakan pada lomba blog "Memotret Pembangunan Indonesia"
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
Ngeri kali ya sawit di Tamiang :( harusnya pemerintah mengambil peran secepatnya
BalasHapus#SaveAcehTamiang #SaveLeuser #AcehGreeen #GoGreen
hehe benar...
Hapusharus segera bertindak sebelum kian parah
Suka dgn kalimat ini, Tamiang bukan hanya sawit!
BalasHapusTerima Kasih Syahri, Tamiang juga ada banyak tempat cantik loh :D
Hapus