Pesan itu masuk selepas Isya. “Haloo Bang Ibnu, saya akan ke
Aceh beberapa minggu ke depan,” tulis sang pengirim. Saya terkejut, sebab pengirimnya
adalah sosok yang tak asing lagi. Buku-bukunya telah menjadi referensi saya dalam
menulis catatan perjalanan.
Ya, ia adalah
Agustinus Wibowo, seorang traveller
yang namanya sudah cukup dikenal. Perjalanannya yang tak biasa, yaitu
menelusuri Asia Tengah telah menyedot
perhatian banyak orang. Bang Agus, begitu saya memanggilnya, kian dikenal publik
setelah ia tampil pertama kali pada acara Kick Andy. Sejak itulah saya semakin
penasaran dengan dirinya.
Malam itu saya baru saja siap makan malam bersama istri. Pada
istri saya katakan, bahwa nanti saya akan bertemu bang Agus dan menemaninya
jalan-jalan di seputar Banda Aceh. Istri saya hanya tersenyum, tanda restu. :D
Dari hasil perbincangan kami
via whasapp malam itu, ternyata Bang Agus ingin melakukan riset untuk
buku barunya. Buku itu tentang fragmen-fragmen Indonesia. Sebelumnya, ia telah melakukan riset beberapa daerah di Indonesia. Sebelum ke
Aceh, ia telah menghabiskan waktu selama tiga minggu di Toraja.
Di Aceh, ada tiga hal penting yang ingin dirisetnya yaitu
pelaksanaan syariat islam, kondisi setelah konflik dan Tsunami, serta pandangan
masyarakat Aceh tentang Indonesia. Saya dan Bang Agus pun telah sepakat, kami akan bertemu esok paginya.
“Kemana saja kita nanti?” Tanya Bang Agus.
Lalu saya merekomendasikan beberapa tempat yang menjadi icon wisata kota Banda Aceh seperti
Masjid Raya Baiturrahaman, Museum Tsunami, Kapal Apung dan mengunjungi kawasan
Ulee Lheu. Mendengar semua itu, spontan bang Agus menjawab.
“Enggak usah banyak banget deh, satu lokasi saja. Biar saya bisa
brainstorming tempatnya,” ucapnya.
Mendengar hal itu, saya pun merasakan sebuah kesadaran baru. Pernyataan Bang Agus itu mengingatkan saya pada cerita di bukunya. Bahwa baginya, tak
penting seberapa banyak tempat yang ia kunjungi, namun yang paling utama adalah
kearifan atau apa pesan yang bisa ditemukan pada tempat tersebut. Pemahaman seperti
ini tentu tak akan diperoleh, bagi mereka yang belum memahami hakikat sepenuhnya
sebuah perjalanan.
Buku dan Kamera Agustinus Wibowo |
Saat itu, Bang Agus memang tidak memiliki agenda khusus harus
mengunjungi tempat apa. Bahkan menurut pengakuannya, ia masih belum tahu harus
menulis apa. “Kita jalan saja dulu,” ucapnya.
Akhirnya, saya pun memutuskan untuk membawa Bang Agus bekunjung
ke Museum Tsunami Aceh. Tepat jam setengah 11 siang saya dan Bang Ferhat
bergerak menjemput Bang Agus di kawasan Setui. Lalu bergerak ke museum yang
hasil rancangan Ridwan Kamil itu.
Di Museum Tsunami, saya memperhatikan baik-baik setiap
perlakuan Bang Agus. Saya coba mempelajari bagaimana ia menilai suatu objek. Hal
pertama yang ia tanyakan adalah bentuk ornamen pada dinding Museum Tsunami. Kemudian
ia mengambil beberapa foto. Nah, saat
itu saya dan Bang Ferhat sudah bersiap-siap untuk masuk ke dalam. Namun Bang
Agus, masih jeprat-jepret foto pada objek yang sama berulang kali. Tampaknya
ia masih enggan beranjak sampai menemukan sesuatu yang baru.
Tak hanya berfoto, Bang Agus juga berbincang ringan dengan
pengunjung. Hal yang sama juga terjadi di dalam gedung, Bang Agus
menghabiskan banyak waktu di setiap objek yang ia datangi. Ia melihat, diam
sejenak lalu mengambil gambar. Entah apa yang berkecamuk di pikirannya?
Agustinus mengambil gambar sebuah keluarga |
Saat kami masuk ke Lorong Cerobong (Space of Confuse) yang pada
dindingnya tertulis nama-nama korban Tsunami. Bang Ferhat menjelaskan, bahwa
nama-nama korban tsunami ini bisa ditambah lagi. Siapa yang ingin nama anggota
keluarganya tertulis di cerobong ini, maka syaratnya cukup melapor ke pihak
pengelola museum.
Mendengar itu, Bang Agus secara spontan menolak. Menurutnya desain
cerobong ini sudah benar. “Nama-nama ini sudah pas posisinya, tidak terlalu ke
bawah dan tidak terlalu dekat dengan tulisan Allah di atasnya. Inikan maknanya,
kita dengan Tuhan itu kecil dan jauh sekali. Dan semua nama-nama ini suatu saat
akan menuju Tuhan,” begitu penjelasannya.
Saya mengangguk sepakat, benar juga. Bagaimana Bang Agus bisa
berpikir sampai sejauh itu, tentu tidak lahir dengan sendirinya. Bisa jadi, ini
adalah hasil dari akumulasi pengalamannya selama menjadi seorang traveller.
Bang Ferhat dan Agustinus di Museum Tsunami Aceh |
Selain itu, Bang Agus juga mengkritisi konsep video tsunami
Aceh yang diputar di Museum Tsunami. Video tersebut hanya menyajikan
detik-detik sebelum tsunami dan beberapa hari setelahnya. Maka yang tampak
hanyalah kerusakan dan kesedihan.
Menurutnya, video itu
tidak memberikan apa-apa selain kesedihan. “Lihat, begitu kita keluar dari
ruangan ini perasaannya malah jadi tak enakkan?” Ucapnya.
Maka ia menyarankan, semestinya video tsunami Aceh itu bisa
memberikan semangat. Ada energi optimisme bagi yang menontonya. “Tsunami Aceh
sudah 11 tahun berlalu, masa videonya masih seperti itu,” kritiknya.
Menjelang Zhuhur, saya menuju masjid Raya Baiturrahman. Saya pun
mengajak Bang Agus, sementara Bang Ferhat tidak bisa ikut karena harus kembali
ke kantor. Selama saya Salat, Bang Agus berkeliling Masjid untuk mengambil gambar.
Aceh dan Agustinus Wibowo sebenarnya punya ikatan emosional. Sebab
ketika Gempa dan Tsunami 2004 silam, Bang Agus sempat menjadi relawan di tanah
Rencong ini. Maka ketika kami masuk ke Pasar Aceh, Bang Agus merasa tak asing dengan
lokasi tersebut.
Perjalanan kami selanjutnya siang itu adalah menuju Museum
Aceh. Sesampainya di sana, ternyata museum tutup sejenak karena istirahat, dan buka
kembali pada pukul dua siang. Alhasil, kami menunggu di bawah Rumah Aceh sambil
bercerita. Saat itulah saya menemukan banyak hal baru, salama perbincangan
dengannya, saya merasakan betul betapa luasanya wawasan seorang Agustinus Wibowo.
“Bangsa kita harus terbuka, kita harus belajar banyak dengan
bangsa lain. Kalau tidak, kita akan terus begini, seperti katak dalam
tempurung,” ucapnya.
Agustinus memotret tiga orang Anak Aceh di Museum Aceh |
Seharian berjalan bersama Agustinus Wibowo hari itu,
memberikan banyak pelajaran dalam diri saya. Tentang bagaimana kita melihat
sejarah dan masa depan. Tentang bagaimana kita memaknai sebuah objek, dan yang jelas tentang makna
perjalanan seutuhnya.
Darussalam, 29 Juni 2016
Pukul 13:58 WIB
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
Asli, iri kali. Belajar langsung dr penulis yg menempa dirinya memang kesempatan langka.
BalasHapusSelamat juga utk rumah barunya.
Benar, perasaan seperti itulah yang kami rasakan ketika jomblo dulu. Loh haha
HapusTerima kasih bang Sayed,
Tulisan yang begitu mengalir. Asik banget bisa ngobrol dan belajar banyak dari Agustinus :)
BalasHapusNgobrol sama bang Ubay juga seru hoho
Hapus:D
Beberapa hari yang lalu sempat ngobrol dengan salah satu dosen dari Unsyiah yang juga merasakan hal yg sama dengan Agus tentang video tsunami itu. Harusnya filmnya itu benar-benar menceritakan tentang bencana, penyebabnya, dampak, dan penanggulangannya. Isi dari museum juga masih ala kadarnya.
BalasHapusItulah, sebagai orang yang tinggal di Banda Aceh, awak merasa Museum tsunami itu tak ubahnya pameran foto. :D
HapusMantap kali bang agustinus itu ya. Detail untuk satu hal lebih baik dari pada banyak hal tapi gak ada yang berguna. Jadi harus focus lagi nih.
BalasHapusNice share bang!
Yup, kalau baca tulisannya kita pun serasa mengikuti perjalananya
Hapuskerenn..mupeng bacanyaa
BalasHapusdan aku masih berharap bisa ngobrol lama sama bang agustinus ni..
yg kemarin tu gak jadi *hiks
Mudah-mudahan bisa ketemu lagi Mira...
HapusAtau bisa jadi, suatu saat ketemu dalam sebuah perjalanan uiih :D
Pelajaran menariknya adalah ketika Agustinus cuma minta satu tempat saja. Nice share Bang.
BalasHapus(Selamat atas peluncuran blog barunya).
Ya, itu salah satu hal menarik yang abang temukan :D
HapusTerima kasih makmur atas kunjungannya :D
apam
BalasHapusPakon Rio?
Hapus